"A Po kelihatannya benar-benar haus, ya?" Aku menggoda A Po.
A Po hanya tersenyum sambil sejenak menatapku, lalu kembali ke aktivitasnya: dengan lahap meminum air sungai yang jernih.
A Po. Anak kecil ini, ya, semalam aku memang menemukannya, dan ku putuskan untuk menemaninya malam ini, dan melalui malam-malam berikutnya bersama. Mungkin saja bisa membuat perasaannya membaik. Ku harap begitu.
Aku terus memandangi tubuh mungil A Po yang penuh guratan luka. Sepertinya luka-luka itu sudah menempel di sana berhari-hari tanpa pernah dibersihkan. Sungguh anak yang malang, Tuhan.
"A Po, lapar tidak?" A Po masih belum ingin memperhatikanku. Tangannya masih sibuk menepuk-nepukkan air segar itu ke wajahnya. "A Po..." Panggilku sekali lagi.
A Po pun akhirnya menoleh, aku hanya tersenyum kecil.
"Iya, A Po sedikit lapar, Kak. Dimana kita bisa temukan makanan?"
A Po mencoba memperhatikan belantara yang mengelilingi kami. Aku melakukan hal yang sama. Tidak ada yang bisa kami manfaatkan di sini, sepertinya. Belantara yang tandus.
Aku segera berdiri dan mengulurkan tangan, "Yuk", ajakku.
A Po pun beranjak dari posisinya, dan bersamaku berusaha menemukan 'sesuatu' untuk diolah dan dijadikan sumber tenaga baru.
Di tengah perjalanan kami, A Po yang masih sedikit terpincang mulai berceloteh,
"A Po sedih. Apa Kakak tau itu?"
Aku menoleh ke arahnya, sambil menggandeng lembut tangan mungilnya.
"Sedih? Apa yang A Po sedihkan? Kakak ada di sini sekarang." Raut wajah itu kembali lagi. Mata sembab itu datang lagi. A Po menundukkan kepalanya dengan gontai.
"A Po ingin kembali seperti dulu. Seperti dulu A Po pertama kali dilahirkan. Di saat semua orang bersorak menyambut kehadiran A Po. Di saat semua orang bergembira melihat A Po yang pertama kali menghirup udara dunia."
A Po menghela napas cukup panjang.
"A Po yang masih sekecil ini, masih belum siap menerima semuanya, Kak."
Semakin aku mendengarkan keluhannya, semakin aku tidak mengerti, Tuhan.
"A Po rasa, ini waktunya untuk A Po belajar dewasa. Ya, di umur A Po yang masih sekecil ini, A Po harus mulai dewasa. Meski A Po juga tidak tau betul arti dari dewasa itu apa, Kak." Hhhmmmm...
Aku pun tersenyum getir. Pikiran apa yang sedang merasukinya, ya.
"A Po, mulai sekarang, lupakan semua kegetiran yang pernah A Po rasakan. Di sini ada Kakak. Dan mulai sekarang, A Po tidak akan sendirian lagi. Tidak akan kesepian lagi. Percaya sama Kakak."
Aku berikan senyuman terbaikku untuknya. A Po membalas senyumanku cepat.
"A Po sayang Kakak." Sekejap langkah kaki kami terhenti, dan A Po memelukku erat.
Ya Tuhan, aku tidak ingin peristiwa buruk kembali menimpa A Po. Meski Ia belum mau bercerita tentang semuanya dengan terbuka, setidaknya aku ingin bermanfaat untuknya, Tuhan.
nTAn @ Admin
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment