Oct 28, 2009

Diary untuk Tuhan -Dialog Ku dan A Po Part 8-

"Bagaimana A Po bisa tersesat di hutan ini?"
Aku bertanya memecah keheningan malam. Di kala aku dan A Po belum juga menemukan jalan keluar dari gelap dan rimbanya hutan.
A Po menyeka keringatnya. Kami memutuskan beristirahat dalam goa ini. Berharap pertolongan Tuhan segera datang.
Pertolongan itu pasti datang kan, Tuhan?
"A Po lupa, Kak. Yang A Po ingat, hari itu A Po pingsan di pinggir sungai." A Po memamerkan giginya.
Dasar A Po kecil.
"Nanti kalau sudah ingat, A Po akan cerita." A Po kembali tertunduk.
"Kak,"
Aku cepat-cepat menoleh ke arahnya.
"Meski A Po masih kecil, banyak sekali pertanyaan yang A Po pikirkan." A Po menghela napasnya dengan panjang.

"A Po ingin kembali ke usia A Po yang dulu, yang masih sangat kecil dan tidak memikirkan apa-apa. A Po hanya ingin bermain bersama teman-teman, bergembira, dan tidak terbebani."
Aku memotongnya sebelum A Po melanjutkan kalimatnya.
"A Po sayang," Ku angkat kepala A Po yang semakin melemah.
"Memang beban apa yang sedang A Po rasakan?"
"Banyak, Kak. A Po sendiri bingung mau memikirkan yang mana. A Po hanya anak kecil yang masih belum mau mengerti, Kak. A Po takut menjadi dewasa. A Po takut menjadi orang besar. A Po tetap mau menjadi anak kecil."
Suara A Po ikut melemah. Berat. Tersirat beban besar di pundaknya, Tuhan. Ada apa ini?
"Tiap malam A Po selalu bertanya pada Tuhan. Tapi lagi-lagi, A Po masih tidak mengerti. Semuanya. Termasuk tanda-tanda jawaban dari Tuhan. A Po bingung, Kak."
A Po melipat kepalanya ke dalam dekapan tangannya. Tubuhnya semakin membungkuk ke tanah. Pelepah daun pisang yang kami gunakan sebagai alas tak mampu melindungi kepala A Po yang lalu tersungkur.
"A Po." Seketika aku teriak dan mendekati A Po. A Po sedikit terkulai lemah.
Sepertinya selama ini Ia mencoba bertahan sendirian, Tuhan. Malangnya.
"A Po. Sekarang A Po punya Kakak, A Po tidak usah khawatir. A Po, bangun, sayang."
Aku menarik tubuh mugil itu dalam dekapanku. Memeluknya hangat.
"A Po terluka."
Suara lemah dan singkatnya mengurat sejuta tanya dan kepedihan.
"Bukan tubuh A Po. Tapi di sini."
A Po menunjuk dadanya. Aku langsung mengelus manja tangan mungilnya. Anak yang benar-benar malang, Tuhan.

No comments: