Nov 30, 2010

Yogyakarta dan Keistimewaannya

Gue orang Yogya. Memang bukan asli Yogya. Bokap Magelang dan Nyokap Yogya, sedangkan gue lahir dan dibesarkan di Jakarta. Tapi darah Nyagogyakarta Hadiningrat mengalir betul di darah gue. Mulai dari keseniannya, kehidupannya, hingga tata kramanya. Gue memang orang Yogya, and I DO LOVE THIS BEAUTIFUL CULTURE CITY THAT DAMN BAD!

Mendengar akan diberlakukannya RUU Keistimewaan Yogyakarta bergejolak, tentu sebagai orang Yogya gue merasa "Panas". Kenapa harus diangkat isu seperti itu lagi kalau memang tidak perlu?

Membaca banyak surat kabar dan portal online makin membuat gue geram, karena pemojokan satu pihak kepada Sultan. Kalau memang tidak setuju, kenapa dari dulu Yogyakarta tetap dijadikan daerah istimewa? Ya jelas saja rakyat Yogya marah dan terusik, sehingga menggulirkan isu referendum * yang di dalamnya gue juga setuju 10000 % *

Tadi pagi gue menyempatkan diri membaca koran Tempo, dan baru saja mendapat tulisan onlinenya. Begini cuplikannya:

Yogya Gulirkan Referendum
Rabu, 01 Desember 2010 | 07:17 WIB

TEMPO Interaktif, Jakarta - Berbagai lapisan masyarakat di Yogyakarta menginginkan referendum (jajak pendapat) guna menyelesaikan kisruh dengan pemerintah pusat mengenai cara penentuan gubernur dan wakilnya di Daerah Istimewa Yogyakarta. Proses ini diharapkan menjadi alternatif terakhir untuk menuntaskan kontroversi itu.

"Referendum (adalah) sebagai bukti kemauan rakyat Yogya," kata Blasius Haryadi, warga Kota Yogyakarta, kemarin. Tri Haryanto, warga lainnya, sepakat dengan Blasius. Dia menegaskan, kalau Gubernur DIY dipilih lewat proses pemilihan umum, tak ada gunanya Yogyakarta disebut daerah istimewa.

Tri menyatakan kejengkelannya terhadap Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, yang menuding Yogyakarta menganut monarki. "Itu dilontarkan pada saat Yogya terkena bencana. Kok tak memikirkan perasaan rakyat Yogya."

Sebelumnya, Ketua Paguyuban Dukuh se-DIY (Semar Sembogo) Sukiman Hadiwiyoyo mengatakan akan digelar sidang rakyat untuk mendukung penetapan Sultan sebagai gubernur. "Jika pemerintah pusat tetap mengadakan pemilihan, rakyat akan memboikot," kata dia. Jajaran perangkat desa yang tergabung dalam Parade Nusantara Daerah Istimewa Yogyakarta sebelumnya juga menyatakan perlunya jajak pendapat.

Sri Sultan Hamengku Buwono X kemarin tak bersedia berkomentar. "Saya serahkan sepenuhnya kepada rakyat," kata Sultan.

Reaksi rakyat Yogyakarta itu dipicu oleh pernyataan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono bahwa sistem pemerintahan di Yogyakarta tak mungkin monarki, karena hal itu bertabrakan dengan konstitusi dan nilai demokrasi. Selama ini kepala daerah di Yogyakarta memang menjabat berdasar penetapan, yakni Sultan sebagai Gubernur dan Paku Alam sebagai wakilnya.

Sultan merespons dengan menyatakan akan menanggalkan jabatan gubernur, "Kalau sekiranya saya dianggap pemerintah pusat menghambat proses penataan DIY."
Hubungan di antara keduanya pernah memanas kala Presiden Yudhoyono mengatakan pemerintahan di Yogyakarta seperti ketoprak, pada 2008.

Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud Md. memberi penilaian soal usulan referendum. "Ini terlalu jauh," kata dia. Alasannya, referendum tak dikenal dalam konstitusi. Ia menyarankan agar warga Yogyakarta membawa aspirasi mereka untuk dibahas oleh Presiden dengan DPR.

Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi menyatakan pemerintah hati-hati menangani isu referendum. Ia menilai pernyataan Presiden biasa saja dan tak menunjukkan konflik dengan Sultan.

Antropolog dari Universitas Gadjah Mada, Heddy Shri Ahimsa Putra, mengatakan Presiden tidak sensitif terhadap hubungan Keraton sebagai simbol budaya dengan masyarakatnya. "Kalau berkaitan dengan identitas budaya, orang berani mati."

Yogyakarta, Riwayatmu Kini

13 Februari 1755
Yogyakarta muncul karena perjanjian Gianti oleh Kompeni.

7 Oktober 1756
Kota Yogyakarta resmi sebagai Ibukota Kerajaan Ngayogyakarta Hadiningrat

17 Agustus 1945
Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia

5 September 1945
Sri Sultan Hamengku Buwono IX mengeluarkan dekrit atau amanat tentang integrasi kerajaan dalam Republik Indonesia. Dekrit serupa dikeluarkan oleh Sri Paduka Paku Alam VIII.

5 Januari 1946
Yogyakarta menjadi Ibukota Indonesia.

1965
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1965 tentang Pemerintahan Daerah berlaku. Yogyakarta menjadi satu-satunya daerah bekas swapraja yang diakui oleh pemerintah pusat.

1974
Atas dasar Tap MPRS Nomor XXI/MPRS/1966 dikeluarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah. Aturan ini menyebutkan, Provinsi Yogyakarta dipimpin oleh Gubernur dan Wakil Gubernur

1988
Sultan wafat di Amerika Serikat. Pemerintah pusat menunjuk Wakil Gubernur Sri Paduka Paku Alam VIII sebagai Penjabat Gubernur.

1998
Paku Alam wafat. Terjadi kekosongan kepemimpinan karena belum ada aturan tentang suksesi kepemimpinan di Provinsi Yogyakarta. Rakyat ingin Sri Sultan Hamengku Buwono X dijadikan Gubernur periode 1998-2003.

2000
Amandemen kedua UUD 1945 menyebutkan, keistimewaan suatu daerah diatur secara khusus dalam suatu undang-undang.

2003
Masa jabatan Sultan berakhir. DPRD Provinsi ingin diadakan pemilihan gubernur. Tapi mayoritas rakyat menghendaki Sultan dan Paku Alam IX ditetapkan sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur 2003-2008.

7 April 2007
Sultan menyatakan tak bersedia lagi menjabat gubernur setelah masa kerjanya habis.

25 Maret 2008
Sekitar 10 ribu orang menolak Rancangan Undang-undang Keistimewaan DIY karena bertentangan dengan aspirasi masyarakat. DPRD mengangkat kembali Sultan dan Paku Alam IX sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur 2008-2013.

Agustus 2008
Rancangan Undang-Undang Keistimewaan DIY diserahkan oleh pemerintah kepada DPR. Hingga sekarang penggodokan belum selesai.

Pasal Panas Rancangan Undang-Undang Keistimewaan Yogyakarta

Pasal 11
Parardhya Keistimewaan Yogyakarta adalah lembaga yang terdiri dari Sri Sultan Hamengku Buwono dan Paku Alam sebagai satu kesatuan yang mempunyai fungsi sebagai simbol, pelindung dan penjaga budaya,serta pengayom dan pemersatu Masyarakat Daerah Istimewa Yogyakarta.

Pasal 21 (3) Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur dilaksanakan sesuai dengan perundang-undangan.

Pasal 22
(1) Pemberhentian Gubernur dan/atau Wakil Gubernur sesuai dengan perundang-undangan.
(2) Parardhya dapat mengusulkan pemberhentian Gubernur dan/atau Wakil Gubernur.

Pasal 23 Gubernur wajib:
a. melaksanakan kewajiban sebagaimana diatur dalam Undang- Undang tentang Pemerintahan Daerah;
b. mengikuti arah umum kebijakan yang ditetapkan oleh Parardhya; dan
c. melakukan konsultasi dengan Parardhya untuk urusan-urusan sebagaimana dimaksud dalam

No comments: