Tuhan, semalam aku bertemu dengan seorang anak kecil yang tersesat di tengah hutan. Aku termasuk salah satu orang yang tersesat di dalam hutan itu. Kami berdua pun berteman, karena sama-sama merasa senasib sepenanggungan.
Malam itu, anak kecil yang aku panggil A Po itu bertanya, "Kak, mungkinkah Tuhan akan bebaskan kita dari hutan ini?"
A Po yang bermata sipit dan berkulit putih itu nampak ingin tahu.
Aku hanya bisa memandang langit. Lalu mengerenyitkan dahi. Tuhan, Kau pasti dengar pertanyaan A Po, kan?
"A Po, Tuhan tidak pernah tidur. Ia akan selalu ada untuk kita. Ia bahkan lebih dekat daripada urat nadi kita sendiri. A Po harus ingat itu." Aku berusaha menenangkannya, Tuhan.
Tapi A Po nampaknya kurang puas dengan jawabanku. A Po bertanya lagi, "Bagaimana bisa Tuhan melupakan kita di sini?"
Dasar anak kecil. Tuhan, aku tahu A Po tidak bermaksud buruk pada Mu. Ia hanya seorang anak kecil yang tidak bisa mengekspresikan perasaannya dengan baik.
"Tuhan tidak sedang melupakan kita, A Po. Ia tidak akan pernah melupakan kita. Lihat saja, jika Ia melupakanmu, Ia tidak akan mempertemukanmu dengan Kakak, kan?"
A Po tersenyum. Sedikit.
"Kak, aku hanya punya Tuhan sebagai tempatku bercerita. Aku hanya punya Dia sebagai tempatku berkeluh kesah, dan meminta pertolongan. Tapi, Kak, apa Tuhan akan mendengar dan mengabulkan semua doa ku?"
A Po anak yang polos. Lugu. Juga naif. Tuhan pasti bahagia saat menciptakan anak ini.
"Pasti. Tapi Tuhan tau mana waktu yang paling baik untuk mengabulkan seluruh doa A Po. Mungkin bukan sekarang. Suatu saat, pasti ada."
"Kapan, Kak?" A Po nampak tidak sabar.
"Suatu hari itu pasti datang. Kalau A Po bersikeras dan tidak sabar, Tuhan mungkin sebal dengan A Po. Apa A Po mau, Tuhan bersikap cuek pada A Po?"
A Po nampaknya mengerti dengan penjelasanku, Tuhan.
"Kak, semua tumbuhan di sini apa bisa kita makan?" Tanya A Po lagi padaku.
"Tentu tidak. Ada beberapa dari mereka yang beracun."
A Po yang sangat tidak berdaya itu mengayun-ayunkan kakinya saat kami duduk di atas ranting pohon, di tengah malam.
"Kak, A Po anak yang baik. A Po selalu menuruti semua keinginan Mama dan Papa. A Po tidak pernah berkata 'ah' pada mereka. Juga durhaka pada mereka. A Po baik pada teman - teman, sopan santun terhadap yang lebih tua, dan berusaha mengerti semua yang diajarkan guru pada A Po. Tapi sepertinya ada yang Tuhan lupa."
A Po memandang ke arah gugusan bintang yang seolah membentuk rangkaian mahkota di langit sana.
"Tuhan tidak pelupa, A Po."
A Po menatapku. Mukanya tampak bingung, Tuhan.
"Kalau Tuhan tidak lupa, bagaimana Ia bisa tidak mengeluarkanku dari sini?"
Aku hanya bisa tersenyum, Tuhan. Lagi-lagi pertanyaan ini. Anak ini begitu naif. Tuhan, Kau pasti geli mendengar pertanyaan - pertanyaannya yang selalu diulanginya. Aku juga begitu.
"Tuhan hanya ingin tahu, apakah A Po anak yang baik, atau nakal. Ujian kecil ini, A Po pasti bisa melewatinya, kan?"
A Po menggigiti jari telunjuknya, menghela napas panjang, lalu dengan tatapan datarnya, kembali memandangiku.
"Tuhan baik, kan. Suatu saat, A Po bisa keluar dari hutan ini, kan? Suatu saat, A Po bisa berbuat kebaikan sesuka A Po lagi, kan?"
Lagi-lagi aku tersenyum. Dasar A Po.
"Yang paling penting, A Po harus ingat, Tuhan sayang A Po. Makanya Ia mau A Po sedikit berusaha."
A Po tersenyum padaku.
"Ingat, ya. Tuhan sayang A Po."
~ nTan @ March 25th 2009 ~
No comments:
Post a Comment