Tuhan, tadi pagi lagi-lagi aku bertemu dengan A Po. Padahal, aku dan A Po sudah berpisah di tengah hutan tempo hari. Katanya ia akan menempuh jalannya sendiri, tidak bersamaku.
Namun benang jodoh kembali mempertemukan kita.
Di depan anak sungai yang mengalir tenang di tengah hutan, aku lihat A Po sedang membasuh muka lusuhnya.
Anak kecil itu sepertinya sedang stres, Tuhan.
Aku menghampirinya.
"A Po."
A Po membalikkan badannya. Tubuhnya mengurus. Pakainnya tampak kumal. Sama sepertiku, Tuhan.
"Kakak."
Senyuman A Po yang terakhir ku lihat adalah saat kami berpisah tempo hari.
"Kak, sekarang A Po tahu, Tuhan sayang A Po."
Ucapan A Po mengagetkanku. Anak ini sepertinya sudah mulai mengerti sesuatu, Tuhan.
"Kenapa tiba-tiba A Po berkata seperti ini?" Aku bertanya ingin tahu. Mungkin anak ini bertemu dengan orang tuanya semalam.
"Tuhan ciptakan banyak kesulitan. Untuk A Po. Tuhan lakukan banyak kesukaran dan menukarnya dengan kesukaran yang lain juga untuk A Po. Padahal maksud Tuhan baik, kan? Tuhan hanya ingin A Po jadi anak yang lebih baik."
Aku dan A Po berbaring di bibir anak sungai itu.
"Semalaman A Po berpikir keras. Apakah Tuhan menciptakan A Po dengan sia-sia. Tapi pasti tidak. Tuhan punya tujuannya sendiri menciptakan A Po ke dunia ini."
A Po menghela napas. Anak ini benar-benar lucu ya, Tuhan.
A Po melanjutkan omongannya, "Semalam, saat A Po hampir diterkam singa, A Po terus memohon pertolongan pada Tuhan. A Po pikir, Ia tidak mendengar jeritan A Po. Ternyata A Po salah, Kak. Tuhan sangat pintar. Ia malah mengirim malaikat untuk menciptakan sebuah petir dan menusukkan petir itu tepat ke sebuah pohon yang ada di sebelah singa itu. Tuhan hebat sekali. Singa itu langsung meninggalkan A Po. Lega rasanya."
A Po tersenyum. Demikian juga denganku, Tuhan. Beberapa hari tidak bertemu dengannya, dan membiarkannya bermain sendirian di tengah hutan, ternyata bisa sedikit mendewasakannya, ya.
"Tapi, Kak."
Suara A Po melemah. Aku melipat senyumanku.
"Meski Tuhan sayang A Po, dan Dia sangat baik, apa mungkin A Po bisa bersabar di tengah hutan ini lebih lama?"
Ah, lagi-lagi pertanyaan yang sama seperti tempo hari.
"Bukankah A Po pernah bertanya ini sama Kakak?"
A Po nampak bingung. "Apa iya?" A Po mencoba mengingat-ingat. "A Po lupa. Maaf, Kak."
Aku kembali tersenyum. Anak kecil yang aneh. Tiap ketemu hanya bisa membuatku geli.
"Kak, apa A Po terlihat seperti anak kecil yang penuh dengan duka?"
Mengapa anak ini tiba-tiba bertanya seperti ini ya, Tuhan?